"Eh, Ma Ido tumben gak nampak? Ada dinas luar apa ya," ucap Bu Suminten penasaran sambil melongok ke ruang Tata Usaha.
"Kamu
aja yang telat," sergah Bu Sukanti.
"Telat
gimana?" tanya Bu Suminten lagi.
"Ketinggalan.
Dia 'kan selalu gasik tiba di sekolah, gak kayak sampeyan jam tujuh
lebih baru masuk gerbang. Ini juga barusan bel bunyi. Ya mungkin dia ngajar di
jam pertama," terang Bu Sukanti. "Sssst ... Dia datang,"
lanjutnya sambil memberi isyarat dengan jari telunjuk.
Ma
Ido terlihat berjalan menuju ke arah mereka. Sepertinya dia baru saja keluar
dari kamar mandi. Bu Suminten dan Bu Sukanti menoleh sejenak untuk melempar
senyum. Sayangnya tidak ada balasan, Ma Ido berlalu dengan kepala tegak. Dagu
agak diangkat bak model melenggang di atas catwalk.
"Sia-sia
senyumku tadi," tukas Bu Sukanti yang dibalas dengan kekeh oleh Bu
Suminten.
"Sudah
tahu senyummu itu kecut bak bau ketek masih saja kau berikan. Mana kuat. Eh,
kan kita pakai masker, gak terlihat dong senyum manis kita," canda Bu
Sukanti.
Bu
Sukanti menoyor bahu temannya. Hampir saja Bu Suminten terjerembab bila dia tak
mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Beberapa siswa memperhatikan. Untuk
menepis malu keduanya sengaja berteriak-teriak agar para siswa tetap menaati
prokes dengan memakai masker secara benar, menjaga jarak, dan tidak berkerumun.
Negara
memang sedang dilanda pandemi mau tidak mau harus mengikuti aturan yang
berlaku. Tapi kadang aturan ini disalahgunakan oleh para siswa perempuan. Tak
jarang begitu masker dibuka ternyata make up mereka gak main-main. Lipstik
dengan warna menyolok hingga blush on yang meronakan pipi mereka.
***
Perempuan
berkacamata plus minus itu selalu datang pagi-pagi. Tidak ada yang salah
sebenarnya, bagus, malah. Artinya disiplin, tidak telat ngantor. Semua
orang pasti mengacungi jempol atas kedisiplinan tersebut. Namun bila sudah
kebablasan apalagi suka campur tangan mendisiplinkan orang lain, tentu lain
soal.
Yang
jelas dia suka nyinyir. Apa dan siapa selalu dicatat menjadi sebuah cacatan
untuk dia sebarkan. Hingga tiada lagi yang benar dan pas menurut prinsipnya.
Tujuannya adalah menjatuhkan kredibilitas orang-orang yang tak disukainya.
Entahlah mungkin ada darah penjajah mengalir di tubuhnya. Sangat anti kemapanan
dan keharmonisan.
Mulailah
muncul panggilan khas untuknya. Ma Ido. Mungkin karena anaknya bernama Ido atau
karena dia suka maido. Entahlah siapa yang mengembuskan nama itu untuk kali
pertama. Hampir-hampir orang melupakan siapa nama resminya.
Panggilan
Ma Ido hanya dipahami oleh orang-orang kantor yang sama frekuensinya.
Selebihnya tidak ada yang tahu. Sering mereka bertanya-tanya siapa sosok di
balik Ma Ido. Meski demikian, lambat laun orang sekantor bisa menebak wajah di
balik nama seiring santernya ungkapan miring atas segala perilakunya.
Orang
lalu memilih minggir dan menjauhkan diri daripada harus berhadap-hadapan
dengannya. Salah sedikit saja bisa menjadi bumerang lebih-lebih bila menyangkut
siswa yang menjadi perwaliannya. Keliru memberi nilai, salah. Lupa memberi
tugas online, salah. Kadang-kadang wewenangnya melebihi atasan mereka. Memarahi
salah satunya.
Orang-orang
lalu memosisikan diri di seberang. Menjauh dari Ma Ido. Beda golongan. Berlevel rendah dan tidak
sepadan. Ma Ido memang selalu menempatkan diri sebagai sosok eksklusif,
berkelas dalam segala hal. Sebagai satu-satunya guru yang lulusan Magister dia
selalu mengritisi segala kebijakan kantor.
Lebih-lebih
mengenai urusan seragam Ma Ido tak akan pernah tinggal diam. Maklumlah sebagai
istri notaris yang mandi duit setiap menit, dia sangat piawai untuk urusan
pakaian. Dia tahu persis mana kain yang bagus dan mana yang tidak.
Seperti
biasa tiap awal tahun pelajaran, sekolah selalu membelikan seragam bagi
keluarga besarnya. Kali ini panitia pengadaan sudah nego habis-habisan kepada
pimpinan sekolah agar diizinkan membeli kain seragam motif batik kelas wahid.
Panitia
pengadaan yang digawangi oleh Bu Suminten, Pak Sumitro, Bu Sukanti, dan Pak
Sukimin berembuk. "Kali ini kita harus mencari batik yang bagus. Jangan
kayak tahun-tahun kemarin," teriak Bu Suminten. Dia paling gatal bila ada
yang ngedumal di belakang. Dan salah satu penggunjing itu adalah Ma Ido.
"Kita
harus demo. Kita ajukan mosi tidak percaya pada toko kain pilihan Pak Gino.
Jangan mau kalau disuruh ambil kain di rekanannya," timpal Bu Sukanti.
Bu
Suminten mengepalkan tangan. Bergegas dia menuju ruang kerja Pak Gino. Bu
Sukanti, Pak Sumitro, dan Pak Sukimin, mengikuti dari belakang.
Tenaga
administrasi dibuat terbengong-bengong dengan kehadiran mereka. "Pak Gino
apa ada di tempat, Mbak?" tanya Bu Suminten pada Mbak Lastri yang selalu
sibuk membuat perubahan pada Dapodik.
"Ada,
Bu. Diketuk saja pintunya," jawab Mbak Lastri dengan tangan sibuk di atas
kibor dan mata tak lepas dari monitor komputer. Awal tahun pelajaran selalu
menjadi masa sibuk bagi operator sekolah.
Sambil
mendorong pintu yang tidak terkunci itu, Bu Suminten mengucap salam.
"Kulanuwun,
Pak. Selamat pagi," ucap Bu Suminten sambil menoleh ke belakang dan
memberi isyarat agar para koleganya mengikuti.
Pak
Gino tersenyum menyambut keempat orang tersebut.
"Ada
apa ini? Kok ramai-ramai?" tanya Pak Gino dengan keramahan tanpa
mengurangi kewibawaan. Tangan yang sedari tadi mengusap rambut yang licin oleh
pomade dia turunkan untuk menyalami keempat tamunya.
Dengan
gaya santai dan tanpa praduga apapun Pak Gino menyambut Bu Suminten beserta tim
pengadaan seragam.
"Begini,
Pak. Bukannya kami kurang sopan atau ngelunjak tapi kami tidak mau
dirundung oleh teman-teman kami," ucap Bu Suminten memulai percakapan.
"Lo…
lo… lo… ini tentang apa?" tanya Pak Gino dengan tangan mengusap-usap
rambut kepala.
"Kami
malu dengan kain seragam tahun lalu. Menurut amatan teman-teman kainnya panas
dan gak nyaman. Sekali cuci langsung mbluwus. Mana mahal lagi harganya.
Kami hanya mau kain Damar Kencono," ucap Bu Suminten menggebu-gebu.
"La
monggo. Ada duitnya to? Ya, untuk teman-teman dibelikan yang bagus. Pak Gino
malu to kalau memberi yang tidak berkualitas itu," jawab Pak Gino. Kali
ini tangannya tak lagi mengusap rambut kepala sebaliknya dia perbaiki posisi
duduk dengan tangan diletakkan di atas paha.
Pak
Gino memang rajanya ngeles. Tapi karena diserang dari 4 penjuru mata
angin tak kuasalah pak Gino menolak permintaan para senior di sekolah tersebut.
Dengan
palilah sang kepala sekolah akhirnya dipilihlah batik Damar Kencono yang
terkenal halus dan wantek warnanya. Tidak mudah luntur meski berkali dicuci
begitu moto perusahaannya.
***
Semobil
tim pengadaan seragam itu meluncur ke kota batik. Meski kesasar berkali-kali
karena ulah suara manis Miss Veronica, google maps akhirnya mengantar
mereka ke kantor pusat batik Damar Kencono.
Bu
Suminten terbeliak. Kain-kain tak lagi bertebaran di konter-konter. Yang tampak
hanya motif pasaran. Dia tak mau menjadi bahan pergunjingan teman-teman
sekantor lagi karena salah pilih kain, motif, maupun warna.
Kali
ini mereka langsung menemui pimpinan kantor. "Kami butuh kain seragam
dengan motif yang lain dari yang lain," kata Bu Suminten pada salah satu
pramuniaga yang berparas manis.
Bu
Prima yang cantik jelita dengan kulit hasil permakan dokter kulit ternama dan
rupanya sang manajer di toko tersebut menyambut mereka bak raja.
"Untuk
berapa potong, Bu? Kami punya beberapa motif yang belum naik printing. Monggo
mana yang mau dipilih?" ucapnya sambil membuka katalog digital dari sebuah
tablet.
Bu
Suminten sibuk menunjuk-nunjuk sementara yang lain sibuk berkeliling dan cuci
mata siapa tahu ada yang pas dengan standar kantong dan bisa diangkut pulang.
Tim
seketika mengadakan rapat terbatas. Video call dengan Pak Gino pun
dilakukan demi istimewanya sebuah motif seragam. Mereka hendak berlindung di
balik nama Pak Gino bila gunjingan menyerang.
"Jangan
yang itu. Itu terlalu feminin. Ya, yang itu," teriak Pak Gino di layar
ponsel.
Kain
berlatar warna gelap dengan motif burung merak akhirnya menjadi pilihan Pak
Gino. Bu Prima menyebut bahwa kain akan siap dalam waktu lima belas hari kerja
dan Bu Suminten beserta tim diminta sabar menunggu. Bu Prima pun intens
menghubungi bu Suminten termasuk menyampaikan bahwa barang yang dipesan sudah
dalam proses pengiriman.
"Pak
Mitro ... Kainnya datang," teriak Bu Suminten begitu melihat kelebat nama
sebuah jasa pengiriman dengan plat kendaraan dari luar kota. Pak Sumitro dan
pak Sukimin tergopoh-gopoh menyambut. Dibantu tenaga sekuriti, mereka membawa
kain seragam tersebut ke ruang administrasi untuk segera didistribusikan.
Dua
hari berikutnya Ma Ido tiba-tiba mendatangi Mbak Lastri yang sedang bekerja di
depan komputer.
"Kain
ini beli di mana to Mbak Lastri? Aku cari di Pekalongan kok gak ada. Aku
cari di Magelang, Jogja, bahkan di supermarket juga tidak ada," teriak Ma
Ido dengan nada tinggi.
Mbak
Lastri mengernyitkan dahi.
"La
memangnya kenapa, Bu?" tanyanya acuh tak acuh.
"Jangan-jangan
plastik pembungkusnya tok yang bersablon Damar Kencono. Kainnya? La
mungkin dibelikan batik dari merk lain. Mosok di toko-toko resmi gak dijual
motif yang sama," selidik Ma Ido.
Ma
Ido membulatkan mata. "Hari gini ya Mbak, yang palsu lebih banyak di
pasaran daripada yang asli," ucapnya. Meninggalkan Mbak Lastri yang
terbengong-bengong.
"Bu
Minteeeenn ..... sekali Ma Ido ya selamanya Ma Ido," teriak Mbak Lastri
begitu bayangan sosok bu Suminten lewat.
Teriakan Mbak Lastri menghentikan langkah bu Suminten. Dia melotot. Ingin mendengar cerita tanpa bumbu dari Mbak Lastri. Di lobi bu Frederika terlihat melangkah dengan gontai.
by: Lestari Ambar Sukesti
0 komentar:
Posting Komentar