Selasa, 30 Januari 2024

CERPEN: Ma Ido


"Eh, Ma Ido tumben gak nampak? Ada dinas luar apa ya," ucap Bu Suminten penasaran sambil melongok ke ruang Tata Usaha.

"Kamu aja yang telat," sergah Bu Sukanti.

"Telat gimana?" tanya Bu Suminten lagi.

"Ketinggalan. Dia 'kan selalu gasik tiba di sekolah, gak kayak sampeyan jam tujuh lebih baru masuk gerbang. Ini juga barusan bel bunyi. Ya mungkin dia ngajar di jam pertama," terang Bu Sukanti. "Sssst ... Dia datang," lanjutnya sambil memberi isyarat dengan jari telunjuk.

Ma Ido terlihat berjalan menuju ke arah mereka. Sepertinya dia baru saja keluar dari kamar mandi. Bu Suminten dan Bu Sukanti menoleh sejenak untuk melempar senyum. Sayangnya tidak ada balasan, Ma Ido berlalu dengan kepala tegak. Dagu agak diangkat bak model melenggang di atas catwalk.

"Sia-sia senyumku tadi," tukas Bu Sukanti yang dibalas dengan kekeh oleh Bu Suminten.

"Sudah tahu senyummu itu kecut bak bau ketek masih saja kau berikan. Mana kuat. Eh, kan kita pakai masker, gak terlihat dong senyum manis kita," canda Bu Sukanti.

Bu Sukanti menoyor bahu temannya. Hampir saja Bu Suminten terjerembab bila dia tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Beberapa siswa memperhatikan. Untuk menepis malu keduanya sengaja berteriak-teriak agar para siswa tetap menaati prokes dengan memakai masker secara benar, menjaga jarak, dan tidak berkerumun.

Negara memang sedang dilanda pandemi mau tidak mau harus mengikuti aturan yang berlaku. Tapi kadang aturan ini disalahgunakan oleh para siswa perempuan. Tak jarang begitu masker dibuka ternyata make up mereka gak main-main. Lipstik dengan warna menyolok hingga blush on yang meronakan pipi mereka.

***

Perempuan berkacamata plus minus itu selalu datang pagi-pagi. Tidak ada yang salah sebenarnya, bagus, malah. Artinya disiplin, tidak telat ngantor. Semua orang pasti mengacungi jempol atas kedisiplinan tersebut. Namun bila sudah kebablasan apalagi suka campur tangan mendisiplinkan orang lain, tentu lain soal.

Yang jelas dia suka nyinyir. Apa dan siapa selalu dicatat menjadi sebuah cacatan untuk dia sebarkan. Hingga tiada lagi yang benar dan pas menurut prinsipnya. Tujuannya adalah menjatuhkan kredibilitas orang-orang yang tak disukainya. Entahlah mungkin ada darah penjajah mengalir di tubuhnya. Sangat anti kemapanan dan keharmonisan.

Mulailah muncul panggilan khas untuknya. Ma Ido. Mungkin karena anaknya bernama Ido atau karena dia suka maido. Entahlah siapa yang mengembuskan nama itu untuk kali pertama. Hampir-hampir orang melupakan siapa nama resminya.

Panggilan Ma Ido hanya dipahami oleh orang-orang kantor yang sama frekuensinya. Selebihnya tidak ada yang tahu. Sering mereka bertanya-tanya siapa sosok di balik Ma Ido. Meski demikian, lambat laun orang sekantor bisa menebak wajah di balik nama seiring santernya ungkapan miring atas segala perilakunya.

Orang lalu memilih minggir dan menjauhkan diri daripada harus berhadap-hadapan dengannya. Salah sedikit saja bisa menjadi bumerang lebih-lebih bila menyangkut siswa yang menjadi perwaliannya. Keliru memberi nilai, salah. Lupa memberi tugas online, salah. Kadang-kadang wewenangnya melebihi atasan mereka. Memarahi salah satunya.

Orang-orang lalu memosisikan diri di seberang. Menjauh dari Ma Ido.  Beda golongan. Berlevel rendah dan tidak sepadan. Ma Ido memang selalu menempatkan diri sebagai sosok eksklusif, berkelas dalam segala hal. Sebagai satu-satunya guru yang lulusan Magister dia selalu mengritisi segala kebijakan kantor.

Lebih-lebih mengenai urusan seragam Ma Ido tak akan pernah tinggal diam. Maklumlah sebagai istri notaris yang mandi duit setiap menit, dia sangat piawai untuk urusan pakaian. Dia tahu persis mana kain yang bagus dan mana yang tidak.

Seperti biasa tiap awal tahun pelajaran, sekolah selalu membelikan seragam bagi keluarga besarnya. Kali ini panitia pengadaan sudah nego habis-habisan kepada pimpinan sekolah agar diizinkan membeli kain seragam motif batik kelas wahid.

Panitia pengadaan yang digawangi oleh Bu Suminten, Pak Sumitro, Bu Sukanti, dan Pak Sukimin berembuk. "Kali ini kita harus mencari batik yang bagus. Jangan kayak tahun-tahun kemarin," teriak Bu Suminten. Dia paling gatal bila ada yang ngedumal di belakang. Dan salah satu penggunjing itu adalah Ma Ido.

"Kita harus demo. Kita ajukan mosi tidak percaya pada toko kain pilihan Pak Gino. Jangan mau kalau disuruh ambil kain di rekanannya," timpal Bu Sukanti.

Bu Suminten mengepalkan tangan. Bergegas dia menuju ruang kerja Pak Gino. Bu Sukanti, Pak Sumitro, dan Pak Sukimin, mengikuti dari belakang.

Tenaga administrasi dibuat terbengong-bengong dengan kehadiran mereka. "Pak Gino apa ada di tempat, Mbak?" tanya Bu Suminten pada Mbak Lastri yang selalu sibuk membuat perubahan pada Dapodik.

"Ada, Bu. Diketuk saja pintunya," jawab Mbak Lastri dengan tangan sibuk di atas kibor dan mata tak lepas dari monitor komputer. Awal tahun pelajaran selalu menjadi masa sibuk bagi operator sekolah.

Sambil mendorong pintu yang tidak terkunci itu, Bu Suminten mengucap salam.

"Kulanuwun, Pak. Selamat pagi," ucap Bu Suminten sambil menoleh ke belakang dan memberi isyarat agar para koleganya mengikuti.

Pak Gino tersenyum menyambut keempat orang tersebut.

"Ada apa ini? Kok ramai-ramai?" tanya Pak Gino dengan keramahan tanpa mengurangi kewibawaan. Tangan yang sedari tadi mengusap rambut yang licin oleh pomade dia turunkan untuk menyalami keempat tamunya.

Dengan gaya santai dan tanpa praduga apapun Pak Gino menyambut Bu Suminten beserta tim pengadaan seragam.

"Begini, Pak. Bukannya kami kurang sopan atau ngelunjak tapi kami tidak mau dirundung oleh teman-teman kami," ucap Bu Suminten memulai percakapan.

"Lo… lo… lo… ini tentang apa?" tanya Pak Gino dengan tangan mengusap-usap rambut kepala.

"Kami malu dengan kain seragam tahun lalu. Menurut amatan teman-teman kainnya panas dan gak nyaman. Sekali cuci langsung mbluwus. Mana mahal lagi harganya. Kami hanya mau kain Damar Kencono," ucap Bu Suminten menggebu-gebu.

"La monggo. Ada duitnya to? Ya, untuk teman-teman dibelikan yang bagus. Pak Gino malu to kalau memberi yang tidak berkualitas itu," jawab Pak Gino. Kali ini tangannya tak lagi mengusap rambut kepala sebaliknya dia perbaiki posisi duduk dengan tangan diletakkan di atas paha.

Pak Gino memang rajanya ngeles. Tapi karena diserang dari 4 penjuru mata angin tak kuasalah pak Gino menolak permintaan para senior di sekolah tersebut.

Dengan palilah sang kepala sekolah akhirnya dipilihlah batik Damar Kencono yang terkenal halus dan wantek warnanya. Tidak mudah luntur meski berkali dicuci begitu moto perusahaannya.

***

Semobil tim pengadaan seragam itu meluncur ke kota batik. Meski kesasar berkali-kali karena ulah suara manis Miss Veronica, google maps akhirnya mengantar mereka ke kantor pusat batik Damar Kencono.

Bu Suminten terbeliak. Kain-kain tak lagi bertebaran di konter-konter. Yang tampak hanya motif pasaran. Dia tak mau menjadi bahan pergunjingan teman-teman sekantor lagi karena salah pilih kain, motif, maupun warna.

Kali ini mereka langsung menemui pimpinan kantor. "Kami butuh kain seragam dengan motif yang lain dari yang lain," kata Bu Suminten pada salah satu pramuniaga yang berparas manis.

Bu Prima yang cantik jelita dengan kulit hasil permakan dokter kulit ternama dan rupanya sang manajer di toko tersebut menyambut mereka bak raja.

"Untuk berapa potong, Bu? Kami punya beberapa motif yang belum naik printing. Monggo mana yang mau dipilih?" ucapnya sambil membuka katalog digital dari sebuah tablet.

Bu Suminten sibuk menunjuk-nunjuk sementara yang lain sibuk berkeliling dan cuci mata siapa tahu ada yang pas dengan standar kantong dan bisa diangkut pulang.

Tim seketika mengadakan rapat terbatas. Video call dengan Pak Gino pun dilakukan demi istimewanya sebuah motif seragam. Mereka hendak berlindung di balik nama Pak Gino bila gunjingan menyerang.

"Jangan yang itu. Itu terlalu feminin. Ya, yang itu," teriak Pak Gino di layar ponsel.

Kain berlatar warna gelap dengan motif burung merak akhirnya menjadi pilihan Pak Gino. Bu Prima menyebut bahwa kain akan siap dalam waktu lima belas hari kerja dan Bu Suminten beserta tim diminta sabar menunggu. Bu Prima pun intens menghubungi bu Suminten termasuk menyampaikan bahwa barang yang dipesan sudah dalam proses pengiriman.

"Pak Mitro ... Kainnya datang," teriak Bu Suminten begitu melihat kelebat nama sebuah jasa pengiriman dengan plat kendaraan dari luar kota. Pak Sumitro dan pak Sukimin tergopoh-gopoh menyambut. Dibantu tenaga sekuriti, mereka membawa kain seragam tersebut ke ruang administrasi untuk segera didistribusikan.

Dua hari berikutnya Ma Ido tiba-tiba mendatangi Mbak Lastri yang sedang bekerja di depan komputer.

"Kain ini beli di mana to Mbak Lastri? Aku cari di Pekalongan kok gak ada. Aku cari di Magelang, Jogja, bahkan di supermarket juga tidak ada," teriak Ma Ido dengan nada tinggi.

Mbak Lastri mengernyitkan dahi.

"La memangnya kenapa, Bu?" tanyanya acuh tak acuh.

"Jangan-jangan plastik pembungkusnya tok yang bersablon Damar Kencono. Kainnya? La mungkin dibelikan batik dari merk lain. Mosok di toko-toko resmi gak dijual motif yang sama," selidik Ma Ido.

Ma Ido membulatkan mata. "Hari gini ya Mbak, yang palsu lebih banyak di pasaran daripada yang asli," ucapnya. Meninggalkan Mbak Lastri yang terbengong-bengong.

"Bu Minteeeenn ..... sekali Ma Ido ya selamanya Ma Ido," teriak Mbak Lastri begitu bayangan sosok bu Suminten lewat.

Teriakan Mbak Lastri menghentikan langkah bu Suminten. Dia melotot. Ingin mendengar cerita tanpa bumbu dari Mbak Lastri. Di lobi bu Frederika terlihat melangkah dengan gontai.

by: Lestari Ambar Sukesti

0 komentar:

Posting Komentar