Senin, 29 Januari 2024

CERPEN Ketika Syifa PMS

 

Ketika Syifa PMS

CERPEN KOCAK

Azan Duhur sudah beberapa menit lewat. Syifa bergeming. Dia masih terpaku di layar monitor. Beberapa teman kulihat beranjak meninggalkan ruangan. Menuju masjid kantor. Aku sendiri masih sibuk memberesi lembar demi lembar kertas. Akhir tahun seperti biasa, hampir selalu menguras tenaga dan pikiran para pekerja. Terutama tenaga honorer. Maklumlah ASN sudah banyak yang pensiun.

Heranku kenapa kami para tenaga honorer tidak juga diangkat menjadi ASN. Sudah belasan tahun berita pengangkatan tak kunjung tiba. Ah, sudahlah, gak perlu mengeluh. Semua sudah ada yang mengatur. Tetap harus bersyukur.

Kerja. Kerja. Kerja.

Aku melirik kalender meja. Laporan harus sudah beres sebelum tanggal 15, begitu kata pak Kabid. Tak ada yang berani membantah. Semua diam dan mencoba menuruti perintah. Segala rekap macam-macam proyek harus segera kelar. Bila tidak, kantor bisa-bisa dicap wan prestasi. Tidak becus. Tidak disiplin. Tidak tepat waktu. Molor. Alih-alih anggaran dinaikkan, yang ada malah terkena pemotongan. Akibatnya bisa fatal. Bagaimana nasib para rekanan?

"Fa, kalau kau mau ke masjid, duluan gih, gak pa pa. Aku mau ke toilet dulu," ujarku.

Syifa adalah satu di antara teman satu ruangan yang boleh dikata rajin dan disiplin beribadah. Tak hanya itu, di sela waktu luang sehabis apel dia pasti akan lari ke musala untuk menyedekahkan sendi-sendinya. Salat duha. Meski hanya 4 rakaat. Usai duha beberapa halaman Al Qur'an dilalap. Buat nemani kita ntar di akhirat, begitu katanya.

"Ya, bentar lagi. Nanggung, nih."

Aku terhenyak. Syifa tak seperti biasanya. Aneh. Kulepas sepatu lalu kuganti dengan sandal jepit merah. Aku ngeloyor ke toilet di belakang ruang kami. Aku tak mau ambil pusing dengan kelakuan aneh Syifa. Mungkin hanya aku yang merasa aneh. Atau aku sendiri yang aneh. Karena aku pemalas. Ambil waktu salat paling belakangan, solat sunat bila juga lagi minat. Aku senyum-senyum sendiri. Membandingkan diriku yang tak sesalih Syifa.

Keluar dari toilet ruangan sunyi. Mungkin beberapa masih berada di masjid. Biasanya sehabis salat, mereka membaringkan badan sekadar untuk meluruskan tulang belakang. Ini untungnya punya masjid yang lumayan luas. Tiduran di lantai tidak akan mengganggu jamaah lain.

Aku kembali ke mejaku. Kali ini sandal tak kuseret. Nyaris tanpa suara. Dengan berdiri aku menatap sekeliling. Tiba-tiba mataku berserobok dengan penampakan Syifa dari belakang. Badannya digoyangkan ke kanan ke kiri. Sejurus kemudian dia angkat bokongnya sedikit ke atas. Lalu dia tolehkan kepala.

Aku merunduk di balik monitor.  Mungkin Syifa tak menginginkan ada orang lain di situ. Atau dia pikir dia lagi sendirian. Aku diam. Menahan napas. Apa yang hendak Syifa lakukan?

Setelah merasa yakin tak ada seorang pun selain dirinya di ruangan itu, Sifa tampak merendahkan bahu. Lalu seperti kudengar suara. Di kesunyian suara pelan begitu mudah merambat ke gendang telinga. Aku mengira-ngira gerangan suara yang kudengar.

Aku mengintip di bawah celah monitor. Kali ini gerakan Syifa seperti orang habis mengejan. Lantas bahunya mengedik. Hijabnya tampak bergoyang mengikuti gerakan bahu dan kepala. Sesaat kemudian Syifa diam. Tak ada lagi gerakan-gerakan.

Kusambar tas mukena di laci mejaku.

"Eh, kau sudah salat ya Fa? Aku ke masjid dulu ya."  Kucolek bahunya. Syifa terlonjak kaget. Pandangannya menghunjam.

Di mataku Syifa terlihat seperti kepiting rebus. Rona merah tampak jelas di pipinya yang langsat.

"Eh, Kinan! Kau masih di sini?"

"Iya. Mang di mana? Ada apa? Kau butuh bantuan? Tapi ntar habis salat ya."

"Eh, ah ... Enggak. Bukannya tadi kamu ke toilet?"

"Iya. Kausangka aku tidur apa? Masak ke toilet harus berjam-jam. Atau aku mengejan berak batu. Konstipasi? Ada-ada saja kamu ini."

Aku beranjak pergi. Tiba-tiba Syifa menahan tanganku.

"Kamu tadi liat aku ..."

Syifa menggantung kalimatnya.

Senyap.

Aku menatap Syifa.  Dahinya berkerenyit. Kembali dia mengedarkan pandang.

"Gak cuma tadi. Tadi, kemarin. Kemarin dulu, aku lihat kamu."

"Tadi kau dengar suara ?" tanyanya lagi.

"Suara? Ya iyalah, Fa. Telingaku masih sehat. Aku belum pernah periksa ke dokter THT," jelasku.

Syifa semakin gelagapan.

"Jadi ...?"

"Aku masih bisa dengar kamu berbicara. Aku bahkan bisa mendengar dengkusan napasmu. Apalagi suara Kang Miun. Dia yang azan, kan? Suaranya betul-betul merdu. Beda banget sama Kang Din atau Kang Noto. Kau naksir Kang Miun, ya?"

"Bukan. Bukan itu."

"Ih, gak pa pa juga. Kang Miun kan masih jomlo. Boleh tuh buat dilirik. Atau ? Kau mau aku comblangin?" godaku.

Syifa menggigit bibir bawah.

"Aku malu."

"Kenapa malu? Kang Miun ganteng lo."

Syifa menepuk-nepuk perutnya.

"Aneh, kamu, tu. Malu kok yang ditepuk-tepuk bagian perut. Biasanya mah wajah yang ditutup, atuh, Neng."

"Karena dia yang bikin aku malu huuuu."

"Perut endut mah dah biasa. Gak usah diambil hati. Yuk ke masjid aja."

Syifa menunduk.

"Kamu tadi dengar aku kentut, ya," ucapnya dengan wajah memelas. Aku hanya melongo mendengar ucapannya. Sekejap aku tertawa. Kutepuk bahunya. Bagai seorang pesakitan Syifa memohon belas kasihan. "Maafkan aku yang tak sopan ya."

Sontak hatiku tergelak.

"Kamu tak tahu galaunya hatiku," ucapnya lagi.

Aku lalu berpanjang lebar memberi penjelasan.

"Eit. Kentut itu wajar 'kali. Manusiawi. Gak kentut gak sehat. Emang kalau gak kentut gitu lantas orang akan menganggap kamu alim. Suci? Orang yang kentutan, jorok gitu. Udik? Kampungan?"

Syifa menggeleng.

"So. No problemo, kan?"

"Yaa. Kan harusnya aku gak boleh kentut saat ada kamu."

"Ha...ha...ha.... Kamu mau kentut berduaan sama Kang Miun?" ledekku.

"Ayo kita ke masjid saja."

"Tampaknya aku harus bersabar menunggu teror kentut ini usai," jawab Syifa lagi, "sepertinya aku PMS. Bulan akan mendatangiku."

Aku geleng-geleng kepala. “Haid, maksudmu?

Syifa menepuk-nepuk perutnya lagi.

"Maafkan aku," ucapnya dengan senyum menyeringai.

Dalam hitungan detik kudengar suara kentut itu semakin menjadi.

"Syifaaaaa ...”

by: Lestari Ambar Sukesti

0 komentar:

Posting Komentar