Ketika Syifa PMS
Azan Duhur sudah beberapa menit lewat. Syifa bergeming. Dia masih terpaku di layar monitor. Beberapa teman kulihat beranjak meninggalkan ruangan. Menuju masjid kantor. Aku sendiri masih sibuk memberesi lembar demi lembar kertas. Akhir tahun seperti biasa, hampir selalu menguras tenaga dan pikiran para pekerja. Terutama tenaga honorer. Maklumlah ASN sudah banyak yang pensiun.
Heranku
kenapa kami para tenaga honorer tidak juga diangkat menjadi ASN. Sudah belasan
tahun berita pengangkatan tak kunjung tiba. Ah, sudahlah, gak perlu mengeluh.
Semua sudah ada yang mengatur. Tetap harus bersyukur.
Kerja.
Kerja. Kerja.
Aku
melirik kalender meja. Laporan harus sudah beres sebelum tanggal 15, begitu
kata pak Kabid. Tak ada yang berani membantah. Semua diam dan mencoba menuruti
perintah. Segala rekap macam-macam proyek harus segera kelar. Bila tidak,
kantor bisa-bisa dicap wan prestasi. Tidak becus. Tidak disiplin. Tidak tepat
waktu. Molor. Alih-alih anggaran dinaikkan, yang ada malah terkena pemotongan.
Akibatnya bisa fatal. Bagaimana nasib para rekanan?
"Fa,
kalau kau mau ke masjid, duluan gih, gak pa pa. Aku mau ke toilet dulu,"
ujarku.
Syifa
adalah satu di antara teman satu ruangan yang boleh dikata rajin dan disiplin
beribadah. Tak hanya itu, di sela waktu luang sehabis apel dia pasti akan lari
ke musala untuk menyedekahkan sendi-sendinya. Salat duha. Meski hanya 4 rakaat.
Usai duha beberapa halaman Al Qur'an dilalap. Buat nemani kita ntar di akhirat,
begitu katanya.
"Ya,
bentar lagi. Nanggung, nih."
Aku
terhenyak. Syifa tak seperti biasanya. Aneh. Kulepas sepatu lalu kuganti dengan
sandal jepit merah. Aku ngeloyor ke toilet di belakang ruang kami. Aku tak mau
ambil pusing dengan kelakuan aneh Syifa. Mungkin hanya aku yang merasa aneh.
Atau aku sendiri yang aneh. Karena aku pemalas. Ambil waktu salat paling
belakangan, solat sunat bila juga lagi minat. Aku senyum-senyum sendiri.
Membandingkan diriku yang tak sesalih Syifa.
Keluar
dari toilet ruangan sunyi. Mungkin beberapa masih berada di masjid. Biasanya
sehabis salat, mereka membaringkan badan sekadar untuk meluruskan tulang
belakang. Ini untungnya punya masjid yang lumayan luas. Tiduran di lantai tidak
akan mengganggu jamaah lain.
Aku
kembali ke mejaku. Kali ini sandal tak kuseret. Nyaris tanpa suara. Dengan
berdiri aku menatap sekeliling. Tiba-tiba mataku berserobok dengan penampakan
Syifa dari belakang. Badannya digoyangkan ke kanan ke kiri. Sejurus kemudian
dia angkat bokongnya sedikit ke atas. Lalu dia tolehkan kepala.
Aku
merunduk di balik monitor. Mungkin Syifa
tak menginginkan ada orang lain di situ. Atau dia pikir dia lagi sendirian. Aku
diam. Menahan napas. Apa yang hendak Syifa lakukan?
Setelah
merasa yakin tak ada seorang pun selain dirinya di ruangan itu, Sifa tampak merendahkan
bahu. Lalu seperti kudengar suara. Di kesunyian suara pelan begitu mudah
merambat ke gendang telinga. Aku mengira-ngira gerangan suara yang kudengar.
Aku
mengintip di bawah celah monitor. Kali ini gerakan Syifa seperti orang habis
mengejan. Lantas bahunya mengedik. Hijabnya tampak bergoyang mengikuti gerakan
bahu dan kepala. Sesaat kemudian Syifa diam. Tak ada lagi gerakan-gerakan.
Kusambar
tas mukena di laci mejaku.
"Eh,
kau sudah salat ya Fa? Aku ke masjid dulu ya." Kucolek bahunya. Syifa terlonjak kaget.
Pandangannya menghunjam.
Di
mataku Syifa terlihat seperti kepiting rebus. Rona merah tampak jelas di
pipinya yang langsat.
"Eh,
Kinan! Kau masih di sini?"
"Iya.
Mang di mana? Ada apa? Kau butuh bantuan? Tapi ntar habis salat ya."
"Eh,
ah ... Enggak. Bukannya tadi kamu ke toilet?"
"Iya.
Kausangka aku tidur apa? Masak ke toilet harus berjam-jam. Atau aku mengejan
berak batu. Konstipasi? Ada-ada saja kamu ini."
Aku
beranjak pergi. Tiba-tiba Syifa menahan tanganku.
"Kamu
tadi liat aku ..."
Syifa
menggantung kalimatnya.
Senyap.
Aku
menatap Syifa. Dahinya berkerenyit.
Kembali dia mengedarkan pandang.
"Gak
cuma tadi. Tadi, kemarin. Kemarin dulu, aku lihat kamu."
"Tadi
kau dengar suara ?" tanyanya lagi.
"Suara?
Ya iyalah, Fa. Telingaku masih sehat. Aku belum pernah periksa ke dokter
THT," jelasku.
Syifa
semakin gelagapan.
"Jadi
...?"
"Aku
masih bisa dengar kamu berbicara. Aku bahkan bisa mendengar dengkusan napasmu.
Apalagi suara Kang Miun. Dia yang azan, kan? Suaranya betul-betul merdu. Beda banget
sama Kang Din atau Kang Noto. Kau naksir Kang Miun, ya?"
"Bukan.
Bukan itu."
"Ih,
gak pa pa juga. Kang Miun kan masih jomlo. Boleh tuh buat dilirik. Atau ? Kau
mau aku comblangin?" godaku.
Syifa
menggigit bibir bawah.
"Aku
malu."
"Kenapa
malu? Kang Miun ganteng lo."
Syifa
menepuk-nepuk perutnya.
"Aneh,
kamu, tu. Malu kok yang ditepuk-tepuk bagian perut. Biasanya mah wajah yang
ditutup, atuh, Neng."
"Karena
dia yang bikin aku malu huuuu."
"Perut
endut mah dah biasa. Gak usah diambil hati. Yuk ke masjid aja."
Syifa
menunduk.
"Kamu
tadi dengar aku kentut, ya," ucapnya dengan wajah memelas. Aku hanya
melongo mendengar ucapannya. Sekejap aku tertawa. Kutepuk bahunya. Bagai
seorang pesakitan Syifa memohon belas kasihan. "Maafkan aku yang tak sopan
ya."
Sontak
hatiku tergelak.
"Kamu
tak tahu galaunya hatiku," ucapnya lagi.
Aku
lalu berpanjang lebar memberi penjelasan.
"Eit.
Kentut itu wajar 'kali. Manusiawi. Gak kentut gak sehat. Emang kalau gak kentut
gitu lantas orang akan menganggap kamu alim. Suci? Orang yang kentutan, jorok
gitu. Udik? Kampungan?"
Syifa
menggeleng.
"So.
No problemo, kan?"
"Yaa.
Kan harusnya aku gak boleh kentut saat ada kamu."
"Ha...ha...ha....
Kamu mau kentut berduaan sama Kang Miun?" ledekku.
"Ayo
kita ke masjid saja."
"Tampaknya
aku harus bersabar menunggu teror kentut ini usai," jawab Syifa lagi,
"sepertinya aku PMS. Bulan akan mendatangiku."
Aku
geleng-geleng kepala. “Haid, maksudmu?
Syifa
menepuk-nepuk perutnya lagi.
"Maafkan
aku," ucapnya dengan senyum menyeringai.
Dalam
hitungan detik kudengar suara kentut itu semakin menjadi.
"Syifaaaaa
...”
by: Lestari Ambar Sukesti
0 komentar:
Posting Komentar